Pembentukan Komisi
Pada Juni 2000, perwakilan masyarakat sipil, Gereja Katolik dan tokoh masyarakat Timor-Leste mengadakan sebuah lokakarya menyelenggarakan sebuah lokakarya untuk membahas mekanisme keadilan transisi, dengan dukungan dari Kantor Hak Asasi Manusia misi UNTAET. Salah satu agendanya adalah mengkaji kelayakan pendirian sebuah komisi pencarian kebenaran bagi Timor-Leste. Lokakarya tersebut kemudian merekomendasikan untuk mengajukan sebuah proposal kepada Kongres Nasional pertama CNRT (Conselho Nacional da Resistencia Timorense) pada bulan Agustus 2000, tentang pendirian sebuah komisi yang diberi mandat untuk menyelidiki pelanggaran-pelanggaran di masa lalu serta memajukan rekonsiliasi.
Kongres CNRT menetapkan visi rekonsiliasi sebagai berikut:
Rekonsiliasi adalah sebuah proses, yang mengakui kesalahan masa lalu termasuk penyesalan dan pemberian maaf, sebagai hasil dari sebuah jalan yang tidak terpisahkan dari proses pencapaian keadilan; rekonsiliasi adalah juga sebuah proses yang harus melibatkan Rakyat Timor-Leste, sehingga lingkaran saling tuduh menuduh bisadiputus. Proses ini tidak bisa dipandang hanya sebagai sebuah upaya penyelesaian konflik, atau sekedar alat politik yang bermaksud untuk menenangkan dan mengintegrasikan kembali individu-individu atau kelompok-kelompok dalam konteks penerimaan mereka terhadap kemerdekaan and kedaulatan Timor-Leste, namun, yang utama, harus dilihat sebagai sebuah proses dimana kebenaran harus menjadi hasilnya.
Dengan suara bulat, Kongres merekomendasikan berdirinya sebuah “Komisi untuk Pemukiman Kembali dan Rekonsiliasi Nasional”. Sebuah Komite Pengarah yang bertugas untuk merancang proposal dibentuk. Anggota Komite Pengarah termasuk perwakilan dari CNRT, organisasi hak asasi manusia, organisasi perempuan, pemuda, Gereja Katolik, dan Asosiasi ex-Tahanan Politik dan Narapidana Politik (Assepol), Falintil, UNTAET dan UNHCR. Tugas pertama Komite tersebut adalah melaksanakan konsultasi dengan masyarakat di seluruh Timor-Leste, demikian juga dengan para pengungsi Timor Timur di Timor Barat, serta daerah lainnya di Indonesia. Tujuan konsultasi-konsultasi ini adalah untuk mengumpulkan informasi untuk mendapatkan pemahaman tentang sikap dan pandangan rakyat Timor-Leste terhadap hal-hal yang menyangkut rekonsiliasi.
Seusai Kongres tersebut, misi UNTAET diminta bantuannya. Sérgio Vieira de Mello, Administrator Transisi, menugaskan Seksi Hak Asasi Manusia dari misi UNTAET untuk berperan atas nama PBB dalam mendukung Komite Pengarah.
Komite Pengarah lalu mengadakan konsultasi lebih lanjut dengan komunitas-komunitas di seluruh Timor-Leste dari September 2000 sampai Januari 2001. Komite ini mengunjungi 13 distrik, mengadakan pertemuan publik di tingkat distrik, sub-distrik, dan desa. Mereka juga berkonsultasi dengan partai-partai politik, ahli-ahli hukum dan kelompok-kelompok hak asasi manusia dan organisasi korban pelanggaran hak asasi manusia. Mereka mendapatkan dukungan komunitas yang luar biasa bagi sebuah komisi kebenaran dan rekonsiliasi.
Pada 21 Januari 2002, Administrator Transisi, Sérgio Vieira de Mello, mengambil sumpah jabatan calon-calon yang direkomendasikan oleh Panel Seleksi sebagai Komsaris Nasional. Mereka yang ditunjuk adalah Aniceto Longuinhos Guterres Lopes, Padre Jovito Rêgo de Jesus Araújo, Maria Olandina Isabel Caeiro Alves, José Estévão Soares, Reverend Agustinho de Vasconselos, Isabel Amaral Guterres dan Jacinto das Neves Raimundo Alves.
|
|
|
|
Aniceto Guterres |
Fr.Jovito de Jesus |
Olandina Caeiro |
José Estévão |
|
|
|
|
|
|
|
Rev.Agustinho |
Isabel Guterres |
Jacinto Alves |
Setelah melalui sebuah proses nominasi publik di masing-masing distrik, Administrator Transisi, Sérgio Vieira de Mello, mengambil sumpah dari 29 Komisaris Regional pada 15 Mei 2002. Sepuluh di antaranya adalah perempuan.
Berikut ini adalah orang-orang yang ditunjuk sebagai Komisaris Regional oleh CAVR: Francisco Martins, Meta Mendonca (Aileu); Filomena Barros Pereira, Alarico da Costa Reis (Ainaro); Carolina M E do Rosario, Aleixo Ximenes (Baucau); Ana de Fatima Cunha, Francisco dos Reis Magno, Domingas dos Santos (Bobonaro); Antonio Alves Fahik, Maria Nunes (Covalima); Teresinha Maria Cardoso, Pedro Correia Lebre, Joanico dos Santos (Dili); Eduardo de Deus Barreto, Egidio Maia (Ermera); Albino da Silva, Justino Valentim (Lautem); Maria Fernanda Mendes, Ana Maria J dos Santos (Liquiça); Geraldo Gomes, Ildefonso Pereira (Manatuto); Jaime da Costa (mengundurkan diri), Saturnino Tilman (Manufahi); Antonio da Costa, José Antonio Ote, Arnold Sunny (Oecussi); Helena H X Gomes, Daniel Sarmento Soares (Viqueque).
Mandat
Regulasi UNTAET 2001/10 mendirikan CAVR sebagai sebuah otoritas independen, dengan ketentuan bahwa badan ini “tidak boleh berada di bawah kekuasaan atau perintah” menteri kabinet atau pejabat pemerintah lainnya.* Pendirian Komisi ini belankangan mendapat pengakuan dalam Konstitusi RDTL, pasal 162. Komisi diberi masa kerja awal 24 bulan. Tiga amandemen berikutnya oleh Parlamen Nasional atas Regulasi ini memperpanjang masa kerja Komisi pertama-tama hingga 30 bulan, kemudian hingga 39 bulan, dan akhirnya perpanjangan sampai tanggal 31 Oktober 2005.†
Menurut mandatnya, tugas-tugas Komisi mencakup hal-hal berikut ini.
- Menyelidiki dan menetapkan kebenaran yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sehubungan dengan konflik di Timor-Leste dari tanggal 25 April 1974 sampai dengan 25 April 1999.2 PEnyelidikan tersebut meliputi:
- Konteks, penyebab, anteseden, motif, dan perspektif yang membawa kepada pelanggaran;3
- Apakah pelanggaran tersebut adalah bagian dari pola pelanggaran yang sistematis;4
- Identitas orang, otoritas, institusi, dan organisasi yang terlibat dalam pelanggaran;5
- Apakah pelanggaran tersebut akibat dari rencana, kebijakan, atau otorisasi negara, kelompok politik, kelompok milisi, gerakan kemerdekaan, atau kelompok atau individu lainnya;6
- Peranan faktor-faktor internal maupun eksternal.7
- Bertanggung-jawaban, “secara politis atau yang lain”, atas pelanggaran.8
- Menyiapkan “laporan komprehensif yang menjelaskan aktifitas dan temuan Komisi, berdasarkan informasi yang benar dan objektif serta bukti yang dikumpulkan atau diterima Komisi atau yang tersedia bagi Komisi”.9
- Merumuskan rekomendasi tentang reformasi dan inisiatif yang dirancang untuk mencegah terjadinya kembali pelanggaran hak asasi manusia10 dan untuk menanggapi kebutuhan para korban. Rekomendasi tersebut juga mencakup usulan langkah-langkah hukum, administratif, dan yang lainnya yang dapat memberikan kontribusi bagi tercapainya tujuan Komisi;11
- Merekomendasikan penuntutan, apabila perlu, kepada Kejaksaan Agung;12
- Mendorong rekonsiliasi;13
- Melaksanakan Proses Rekonsiliasi Komunitas (PRK), yang bertujuan untuk mendukung penerimaan dan reintegrasi individu-individu yang telah merugikan komunitas mereka dengan melakukan pelanggaran pidana ringan dan tindakan merugikan lainnya;14
- Membantu memulihkan martabat para korban;15
- Memajukan hak asasi manusia.16
* Regulasi 2001/10 tentang Pendirian Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi di Timor-Leste Pasal 2.2. Dalam Bagian ini, Komisi menggunakan istilah Timor-Leste jika secara khusus merujuk kepada Regulasi 2001/10 dan instrumen hukum lainnya seperti Resolusi PBB dan hukum internasional; Komisi juga secara umum menggunakan istilah Timor-Leste sebagai istilah yang digunakan selama periode mandat dalam konteks hukum internasional dan persoalan Penentuan Nasib Sendiri.
†Meski Pasal 2.4 Regulasi mengizinkan perpanjangan selama enam bulan tanpa pertimbangan parlemen, kedua perpanjangan disahkan oleh amandemen resmi terhadap Regulasi. Undang-Undang Parlemen Republik Demokrasi Timor-Leste No. 7/2003, Pasal 1 memperpanjang mandat sampai 30 bulan. Undang-Undang Parlemen Republik Demokrasi Timor-Leste No. 13/2004, Artikel 1 memperpanjang mandat sampai tanggal 7 Juli 2005. Undang-Undang Parlemen Republik Demokrasi Timor-Leste No. 11/2005, Artikel 1 memperpanjang mandat sampai tanggal 31 Oktober 2005.